Indonesia mengalami dua masa pemulihan setelah proklamasi diantaranya masa demokrasi pemimpin yang dipegang oleh Presiden Soekarno (1959–1966) dan masa orde baru yang diketuai oleh Presiden Soeharto (1966–1998). Terdapat perubahan yang signifikan dari kedua pemimpin ini, tetapi tak dielakkan keduanya masih dalam tahap yang “tidak sempurna”.
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada saat itu turun di tangan Soekarno, memaksa bapak proklamator ini untuk menghentikan kekuasaannya secara paksa dan digantikan oleh Soeharto yang dianggap lebih mumpuni kala itu. Namun, benarkah itu?
Dalam perjalanannya, Presiden Soeharto menorehkan perubahan terbesar bagi sejarah Indonesia. Bahkan masa itu presiden ini mendapatkan julukan “Bapak Pembangunan” untuk negara yang mendapatkan nama “Macan Asia” oleh Bank Dunia. Karena saat itu, bapak pembangunan ini menyembuhkan Indonesia yang “sakit ekonomi”. Inflasi terkendali, ekspor impor melejit naik, defisit angka kemiskinan, dan derasnya laju investasi. Bahkan investor asing berbondong-bondong untuk menanam asetnya di negara Macan Asia ini. Dalam prosesnya, Presiden Soeharto pun menggaet para ekonom UI yang lolos di Amerika Serikat untuk membantu memulihkan keuangan negara ini.
Prestasi Besar Setara dengan Dosa Besar
“Piye? Enak jamanku to?”, slogan bergambar Soeharto yang menggunakan jas dan kopiah hitam seraya tersenyum bangga menandakan zamannya hidup lagi di masa reformasi presiden Joko Widodo saat ini. Tak hanya ditemukan di google saja, bahkan stiker dengan tulisan ini sudah tertempel di rumah, kendaraan, atau bahkan di dinding kampus. Tak bisa dipungkiri, neraca dosa dan prestasi yang ditorehkan seimbang. Salim Said berkata dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), stabilitas yang terjadi sesungguhnya diciptakan di atas otoritarianisme. Dengan tangan baja Soeharto, ia perlahan mengendalikan dan mengontrol negara sesuai dengan kehendaknya. Terjadinya kekuasaan yang disentralisasikan, dwifungsi ABRI, serta campur tangan keluarga maupun sanak saudara dalam setiap perusahaan yang dibangun di Indonesia. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan menjadi kebanggaan bagi keluarga Soeharto dan menjadi neraka bagi masyarakat kala itu.
Publik: “Enak zaman Pak Soeharto sih..”
Ketika kala itu saya menggulir beranda aplikasi Tiktok, tidak sengaja lewat video wawancara dengan beberapa penduduk di pedesaan yang menjawab pertanyaan si pewawancara. Pertanyaan yang ditujukan tidak sepenuhnya saya ingat, tetapi intinya “menurut kalian lebih enak di zaman siapa?” dan mungkin lebih dari 5 petani menjawab “Pak Soeharto sih..”. Sontak saya kaget, karena saya ingat betul dari apa yang dibaca bahwa pada saat itu banyak sekali mahasiswa yang unjuk rasa ke kantor DPR untuk melengserkan beliau dari kekuasaan.
Keheranan itu membawa saya untuk membuka kolom komentar dan satu jawaban yang masih saya ingat sampai sekarang, “Memang jaman sekarang lebih enak, bebas semua. Dari internet, pers, berpendapat, bahkan demokrasi dijalankan sebagaimana mestinya. Tapi dari kebebasan itu pula yang membawa Indonesia hancur, presiden di masa reformasi hanya berputar seputar partai itu-itu saja, bahkan mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Korupsi juga tidak selesai sampai sekarang. Sudah tahu utang banyak eh malah menghamburkan uang”.
Memang tidak semua orang berpendapat seperti itu, ada pula yang bersyukur ia tidak hidup di jaman yang kejam itu. Beberapa pula bersyukur kalau Soeharto sudah lengser dan demokrasi menggelegar kembali. Tetapi, tak dapat diabaikan juga kalau ada beberapa masyarakat yang mengharapkan tirani Bapak Pembangunan itu kembali memimpin lagi.
Keputusannya yang mengatakan penyederhanaan partai politik agar tidak terjadi “malafungsi” pemerintahan pada saat itu, diharapkan kembali agar pergantian jabatan saat ini tidak nepotisme melainkan atas keahlian dan niat yang dimiliki. Segala pemikiran dan tindakan yang terhitung hati-hati dan ambisinya untuk membangunkan ekonomi Indonesia sangat diharapkan timbul lagi untuk sekedar menyelesaikan hutang piutang Indonesia yang terus menumpuk. Dan mungkin penyesalan lainnya dari beberapa masyarakat yang mengharapkan tirani beliau kembali.
“Presiden Terkorup di Dunia” begitulah julukan yang diberikan oleh Transparency International untuk Presiden Soeharto. Begitu pula yang dikatakan Presiden Gus Dur dalam acara Kick Andy di Metro TV “Soeharto itu jasanya besar, tetapi dosanya juga sama besarnya”. Dengan berbagai ragam julukan ini, apakah masih meromantisme kekuasaan Presiden Soeharto?